21 Pasal dalam UU Cipta Kerja Diubah, Ini 5 Hal yang Perlu Diketahui Pekerja
Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) belum lama ini mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan sejumlah pemohon yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Dalam hal ini, ada beberapa perubahan yang perlu diketahui Bunda yang juga pekerja.
Seperti diketahui bahwa Partai Buruh dkk menggugat puluhan pasal dalam UU nomor 6 tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Ciptaker sebagai UU yang terkait pengupahan, hubungan kerja, hingga tenaga kerja asing.
Melansir dari laman detikcom, berdasarkan berkas perbaikan permohonan, terdapat 71 poin pada bagian petitum. MK pun mengabulkan gugatan terhadap 21 pasal. Perubahan pada pasal-pasal itu akan berdampak pada sejumlah hal terkait ketenagakerjaan.
5 Perubahan UU Cipta Kerja yang perlu diketahui pekerja
Berikut adalah beberapa hal yang perlu pekerja ketahui terkait perubahan dalam UU Cipta Kerja:
1. PKWT hanya boleh 5 tahun
MK mengabulkan sebagian permohonan pasal terkait perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dalam UU Ciptaker.
Partai Buruh dkk mengatakan pasal itu tidak mengatur jelas kapan dimulai dan berakhirnya suatu pekerjaan sehingga merugikan para pekerja/buruh. Hal ini karena tidak ada syarat jangka waktu PKWT.
Oleh karena itu, MK memutuskan bahwa PKWT hanya dapat dilakukan paling lama 5 tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan.
2. Perubahan unsur-unsur upah
Pada putusan ini, MK menyatakan bahwa tenaga kerja berhak mendapat penghasilan yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar.
MK juga memasukkan makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua sebagai unsur upah.
3. Perketat aturan terkait tenaga kerja asing
MK menyatakan tenaga kerja asing masih bisa bekerja di Indonesia. Namun, pemberi kerja harus mengutamakan tenaga kerja Indonesia.
4. Memperketat aturan PHK
Partai Buruh dkk meminta MK untuk mengubah Pasal 81 angka 40 UU Ciptaker. Partai Buruh menilai pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Oleh karena itu, MK memperketat proses PHK, terutama jika terdapat proses perundingan bipartit. Jika tak mencapai kesepakatan antara pekerja dan pengusaha, MK menyatakan PHK hanya dapat dilakukan setelah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap dari lembaga berwenang. MK juga memperjelas persoalan nilai minimal pesangon dalam putusannya.
5. Sarankan UU ketenagakerjaan baru
MK juga menyatakan DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang perlu membuat Undang-Undang Ketenagakerjaan baru. MK mengatakan urusan ketenagakerjaan harus dikeluarkan dari UU Cipta Kerja.
“Menurut Mahkaman, pembentuk undang-undang segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU 6/2023,” bunyi putusan MK.
MK menyimpulkan perhimpitan norma yang diatur dalam UU 13 Tahun 2023 dengan norma dalam UU 6 Tahun 2023 akan mengancam perlindungan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil bagi dan berpotensi merugikan pekerja/buruh serta pemberi kerja/pengusaha.
MK menilai bahwa pembuatan UU Ketenagakerjaan yang baru dan terpisah dari UU Cipta Kerja akan membuat aturan mengenai ketenagakerjaan lebih mudah dipahami dan menghindari tumpang tindih aturan yang terjadi pada UU Nomor 13 tahun 2003 dengan UU Nomor 6 Tahun 2023.
Oleh karena itu, MK meminta undang-undang ketenagakerjaan yang baru itu dibuat dalam waktu 2 tahun ke depan.
Sumber : Haibunda.com